Sampah bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga masalah tata kelola, pola hidup, dan kesenjangan sosial. Di Indonesia, kompleksitas masalah sampah tidak merata. Ada provinsi yang sudah melangkah progresif dengan teknologi dan inovasi komunitas, tetapi tak sedikit yang masih berkutat pada persoalan klasik: TPA overkapasitas, sistem pengangkutan amburadul, hingga konflik sosial.
Berdasarkan pemetaan terakhir hingga Maret 2025, berikut ini adalah provinsi-provinsi di Indonesia dengan permasalahan sampah paling krusial—dengan melihat kombinasi antara volume sampah harian, kapasitas pengelolaan, tingkat pencemaran lingkungan, dan kerentanan sosial-ekonomi.
Sebagai ibu kota, Jakarta memproduksi lebih dari 7.000 ton sampah per hari, yang sebagian besar bergantung pada TPA Bantargebang di Bekasi. TPA ini sudah menampung sampah selama lebih dari dua dekade dan kerap kali mengalami kebakaran akibat gas metana. Program daur ulang berjalan lambat, dan partisipasi publik masih rendah. Sementara itu, permukiman padat dan wilayah sungai kerap menjadi “kantong darurat” pembuangan ilegal.
Dengan populasi terbesar di Indonesia, Jawa Barat menghadapi krisis di berbagai kabupaten/kota seperti Bekasi, Bogor, Depok, dan Bandung Raya. TPA Legok Nangka dan TPA Cipeucang Banten adalah contoh nyata TPA yang bermasalah baik dari aspek teknis maupun sosial. Sungai-sungai di wilayah ini tercemar berat mikroplastik dan limbah rumah tangga.
Wilayah Surabaya, Malang, dan Sidoarjo merupakan kantong utama produksi sampah. TPA Benowo yang sempat digadang sebagai solusi RDF (Refuse-Derived Fuel) modern, masih menyisakan masalah operasional dan distribusi hasil energi. Di sisi lain, banyak daerah pesisir seperti Banyuwangi menghadapi krisis limbah plastik laut.
DIY mengalami darurat sampah sejak TPA Piyungan ditutup sementara karena overload. Penumpukan sampah di jalan, pasar, dan pemukiman terjadi hampir setiap bulan. Upaya komposting dan pemilahan belum terintegrasi dengan sistem pengangkutan. DIY adalah potret nyata bahwa krisis bisa terjadi bahkan di wilayah yang kecil namun padat aktivitas.
Pulau wisata ini memproduksi sampah tinggi dari sektor pariwisata dan rumah tangga. TPA Suwung di Denpasar sudah kritis, menyebabkan pencemaran udara dan laut. Ironisnya, Bali sebagai destinasi internasional menghadapi tantangan global soal kebersihan dan keberlanjutan, namun sistem lokalnya masih sangat tradisional.
Medan dan sekitarnya menghadapi masalah klasik: sistem pengangkutan dan pemilahan tidak terkoordinasi, serta minimnya fasilitas pengolahan. Sungai Deli, salah satu sungai besar di Medan, menjadi tempat pembuangan utama warga miskin kota. Program bank sampah belum menyentuh akar masalah.
Kota seperti Balikpapan dan Samarinda mengalami lonjakan volume sampah akibat urbanisasi dan proyek-proyek pembangunan. Pengelolaan masih bersifat konvensional, sementara kebutuhan akan fasilitas modern seperti biodigester dan bank sampah digital belum terpenuhi.
Makassar sebagai ibu kota provinsi menghasilkan ribuan ton sampah per hari, namun pengelolaan masih bertumpu pada metode open dumping. Limbah makanan dan organik menjadi mayoritas, namun belum dimanfaatkan sebagai kompos atau energi terbarukan secara optimal.
Permasalahan di atas menunjukkan bahwa solusi satu pintu seperti pembangunan TPA saja sudah tidak relevan. Kita perlu pendekatan multi-level, lintas sektor, dan berbasis komunitas, dengan fokus pada:
Ekonomi Sirkular: Mengubah sampah menjadi sumber daya, bukan beban.
Teknologi Tepat Guna: Seperti biodigester, maggot farm, dan thermal processing rendah emisi.
Tokenisasi Aset Berbasis Lingkungan: Pendanaan publik melalui teknologi blockchain yang memungkinkan transparansi, insentif komunitas, dan kepemilikan bersama atas solusi lingkungan.
Model Koperasi Multi-Pihak (KMP): Kolaborasi warga, pemda, sektor swasta, dan investor yang adil dan berkelanjutan. Salah satu contoh inspiratifnya adalah KMP Aryadhana yang menginisiasi Arya Ecodhara-Evowaste untuk pengelolaan limbah terpadu berbasis gotong royong dan teknologi.
Setiap provinsi perlu solusi lokal spesifik. Tak cukup menunggu kebijakan nasional. Dari hulu ke hilir, dari rumah tangga hingga industri, pendekatan sistemik harus dirancang berbasis potensi lokal, kondisi geografis, dan kemampuan sosial-ekonomi masing-masing daerah.
Krisis ini bukan semata-mata soal teknologi, tapi soal keberanian untuk mengubah paradigma: dari membuang menjadi memanfaatkan, dari memindahkan masalah ke TPA menjadi menyelesaikannya di komunitas, dan dari pembiayaan negara semata menjadi model inklusif dan digital.