Tak ada hari tanpa sampah di Indonesia. Dari pasar tradisional hingga gedung pencakar langit, dari pesisir pantai hingga pegunungan, limbah domestik dan industri terus menumpuk dan membentuk gunung-gunung kecil yang kadang tersembunyi, kadang tampak nyata di sudut-sudut kota. Namun satu hal yang pasti—masalah ini belum selesai, dan seolah tak pernah benar-benar ditangani secara tuntas.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan lebih dari 65 juta ton sampah per tahun, dan angka ini terus meningkat seiring pertumbuhan populasi dan konsumsi.
Yang lebih memprihatinkan, hanya sekitar 13–15% dari sampah tersebut yang berhasil didaur ulang, sisanya dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang mayoritas sudah mengalami overkapasitas atau bahkan ditutup.
Tempat Pembuangan Akhir yang semula dibangun sebagai solusi kini berubah menjadi masalah itu sendiri. TPA Piyungan di Yogyakarta, TPA Suwung di Bali, dan TPA Cipeucang di Banten hanyalah sebagian contoh dari banyaknya TPA di Indonesia yang mengalami kelebihan kapasitas, pencemaran air tanah, kebakaran akibat gas metana, dan konflik sosial dengan warga sekitar.
Di beberapa kota, warga bahkan sempat menutup akses jalan ke TPA karena tak tahan dengan bau dan limbah yang mencemari lingkungan mereka. Akibatnya, sampah menumpuk di jalanan kota selama berhari-hari—situasi darurat yang terus berulang tanpa penyelesaian yang sistemik.
Kita sering mendengar himbauan untuk memilah sampah di rumah, tapi realitanya sistem pengangkutan dan pengolahan belum siap menanganinya. Sampah yang sudah dipilah di rumah seringkali kembali tercampur di truk pengangkut. Bank sampah belum menyentuh mayoritas warga, dan daur ulang skala industri masih terbatas pada jenis sampah bernilai ekonomi tinggi seperti plastik PET dan logam.
Sementara itu, sektor informal yang selama ini jadi ujung tombak daur ulang justru seringkali luput dari perhatian kebijakan. Padahal, mereka inilah yang paling aktif memungut dan memanfaatkan sampah sebelum dibuang ke TPA.
Pengolahan sampah ramah lingkungan seperti komposting, RDF (Refuse Derived Fuel), hingga teknologi insinerasi termal rendah emisi masih belum tersebar luas. Banyak daerah belum memiliki teknologi maupun anggaran untuk mengadopsinya. Bahkan regulasi terkait teknologi pemusnahan modern masih tertinggal dibanding kebutuhan di lapangan.
Sebagian daerah mencoba pendekatan alternatif seperti pengelolaan berbasis desa atau komunitas, namun dukungan kebijakan dan pendanaan masih minim. Padahal, di sinilah letak harapan baru: membangun sistem yang lebih dekat ke masyarakat, bukan sekadar mengandalkan solusi besar dan mahal dari pusat.
Alih-alih melihat sampah sebagai limbah, pendekatan ekonomi sirkular justru memandangnya sebagai sumber daya. Limbah organik bisa diolah jadi kompos atau bahan bakar bioenergi. Plastik bisa didaur ulang atau diproses menjadi produk bangunan alternatif. Bahkan sampah elektronik bisa menghasilkan logam berharga jika ditangani dengan benar.
Namun yang paling penting adalah melibatkan masyarakat secara aktif dalam sistem ini: bukan hanya sebagai konsumen yang membuang, tapi juga sebagai bagian dari solusi. Edukasi lingkungan, insentif berbasis digital (seperti token atau poin), hingga koperasi pengelola sampah bisa menjadi jalan keluar yang adil dan berkelanjutan.
Tak bisa dipungkiri, kita butuh lompatan besar dalam pengelolaan sampah. Salah satunya adalah menggabungkan teknologi digital, pembiayaan inovatif, dan model partisipatif. Beberapa gagasan mulai berkembang, seperti:
Tokenisasi proyek lingkungan berbasis blockchain, yang memungkinkan masyarakat dan investor mendanai fasilitas pengelolaan sampah.
Model koperasi multi-pihak (KMP) yang melibatkan warga, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lainnya untuk berbagi kepemilikan dan manfaat.
Desentralisasi unit pengolahan skala kecil-menengah, seperti biodigester, maggot farm, atau mesin pemusnah residu ramah lingkungan (zero emission).
Jika digerakkan secara kolaboratif, ini bisa menjadi peta jalan keluar dari krisis sampah yang selama ini berputar-putar tanpa arah.
Masalah sampah adalah refleksi dari pola konsumsi, budaya buang, dan kegagalan sistem. Tapi ia juga bisa menjadi pintu masuk menuju transformasi sosial dan ekologis. Dari gunungan sampah, kita bisa membangun kesadaran baru—bahwa setiap bungkus yang kita buang adalah bagian dari cerita panjang tentang tanggung jawab bersama.
Kini saatnya bukan hanya menyalahkan, tapi menciptakan. Bukan sekadar mengeluh, tapi bergerak. Karena masa depan tanpa sampah bukan utopia, melainkan sebuah pilihan yang bisa kita ambil hari ini.
✍ Penulis: R. Widyanto, S.E., M.M.
Praktisi AI, Web3, dan Ekonomi Gotong Royong.
Aktif dalam pengembangan solusi teknologi untuk keberlanjutan dan transformasi digital berbasis partisipasi komunitas.